Minggu, 02 Februari 2014

Kesalahan Besar Pola Pengeringan Dalam Sistem Bisnis Rumput Laut Indonesia

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto
Paradigma bisnis rumput laut  selama ini membiarkan kondisi kadar air tinggi bahan pangan rumput laut pada selang waktu yang sangat lama.  Hal ini terjadi dalam sistem bisnis rumput laut Eucheuma cottonii di seluruh dunia dan khususnya juga di Indonesia.   Dari rumput laut basah setelah dipanen dari laut dengan kandungan kadar air sekitar 92,5 % memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai kekeringan bahan dengan kadar air sekitar 38% yang selama ini dikelola di tingkat petani.   Pola pengeringan yang umumnya dilakukan oleh para petani secara tradisional dan sangat tergantung dengan keadaan alam.
Dalam proses bisnis rumput laut kering sebagai bahan mentah selanjutnya di tangan para pedagang pengumpul dan para pedagang besar hingga eksportir atau pabrikan,  selama ini memerlukan waktu yang sangat panjang dalam kondisi bahan mentah rumput laut dengan kadar air antara 35-38 %.   Dalam ilmu pangan dan gizi yang mempelajari tentang kerusakan bahan pangan, maka dapat dipahami, bahwa bahan pangan yang berupa rumput laut pada kondisi tersebut akan mengalami kerusakan selama kurun waktu tersebut.  Inilah yang terjadi dalam bisnis rumput laut kita selama ini.
Kesalahan besar ini terjadi akibat pembiaran terhadap penanganan bahan pangan dengan kandungan gizi yang tinggi pada kondisi yang menyebabkan perubahan enzimatis yang berlangsung sangat lama.   Waktu yang sangat lama, yaitu antara 48 sampai dengan 107 hari,  itu sangat memungkinkan terjadinya perubahan enzimatis yang berakibat pada susutnya jumlah dan mutu karaginan di dalam rumput laut.  Dari pengamatan, data dan referensi selama ini dapat disusun perkembangan tahapan dan lamanya proses kekeringan rumput laut dari petani hingga diolah di dalam pabrik sebagai berikut :
1.    Di tingkat Petani selama 10 – 15 hari dengan kisaran kadar air bahan rumput laut dari basah dengan kadar 80 - 92,5 % selama 4 hari, 40 – 80 % selama 5 -10 hari dan 35 – 40 % selama 3 hari.
2.    Di tingkat pedagang selama 8 – 22 hari, dengan kisaran kadar air 35 – 38 % selama 1-2 hari  dan di kisaran kadar air 30 – 35 % selama 7 – 20 hari.
3.    Di tingkat eksportir hingga akan diproses di pabrik selama 30 – 70  hari dengan kondisi bahan rumput laut dengan kadar air 30 – 35 %.
Tiga tahapan itu seperti yang tersaji ringkas pada tabel berikut ini :
 
Akibatnya, ada kesenjangan yang sangat lebar antara kondisi yang selama ini berkembang di lapangan (seperti di atas) jika dibandingkan dengan kondisi ideal yang seharusnya dalam pengelolaan bahan pangan.   Pengelolaan yang ideal setelah bahan pangan itu dipanen dari lahan budidaya adalah dilakukan penghentian atau minimalisasi proses enzimatis pada bahan sehabis dipanen secepat-cepatnya.   Untuk bahan yang mengandung tepung seperti biji-bijian (padi, jagung, kedelai dan lain-lain) paling aman disimpan dalam keadaan kering dengan kadar air maksimal 14%.  Kalau biji-bijian tadi diharapkan untuk benih kembali maka dianjurkan untuk disimpan pada keadaan lebih kering lagi yaitu pada kadar air 12%.
Rumput laut sebagai bahan baku untuk produk-produk pangan, kesehatan, kosmetik maupun industri lainnya, supaya awet dan tidak mengalami banyak kerusakan, maka idealnya juga harus diperlakukan menurut kaidah dan ilmu tentang pengelolaan bahan pangan yang baik.   Maka jika diperbandingkan  antara kondisi perlakuan konvensional dengan kondisi yang ideal dalam pengelolaan rumput laut selama ini, maka sudah terjadi kerusakan bahan pangan berupa chips atau keraginan sekitar 50% yang hilang dan susut selama proses pengolahan.  Dalam proses pengolahan selama ini bahan rumput laut terekspos dengan kadar air relatif tinggi (di atas 30 %) selama 48 sampai 107 hari, yang akhirnya mengalami banyak kerusakan dan terbuang pada saat pencucian, ekstraksi dan granulasi  di dalam proses industri. 
Dengan pola selama ini ternyata hasil RLK kita hanya mampu menghasilkan rendemen Chips ATC sebanyak 30-34 % dari RLK atau 3-3,4 % dari RLB.   Sedangkan RC yang dihasilkan hanya sekitar 20–25 % dari berat RLK atau 2-2,5 % dari RLB.  Coba bandingkan dengan sistem ideal yang dilakukan dengan pola pengeringan cepat hingga kadar air 15 % langsung dari rumput laut basah dengan pencucian alkali. Hasil RC yang diperoleh sekitar 4,5 % dari RLB.  Atau kalau dalam bentuk Chips ATC sebanyak sekitar 6,8 %, sebagaimana data pada tabel di bawah ini.  Maka bisa dikatakan ada sekitar 50% produk hilir terbuang karena kesalahan paradigma bisnis rumput laut kita selama ini.

 
Kandungan keraginan rumput laut Eucheuma cottonii atao Kappaphycus alvarezi
Kappaphycus merupakan jenis rumput laut yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat - obatan dan kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan bahan campuran (additives).  Kadar karaginan dalam setiap species Kappaphycus berkisar anatara 54%-73% sedangkan di Indonesia berkisar antara 61,5% - 67,5%. (Nur Masita Amiluddin, 2007)
 
Kerusakan besar itu terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1.    Kondisi rumput laut berhenti proses asimilasinya setelah diangkat dari laut
2.    Kondisi reaksi enzimatis aktif setelah rumput laut terhenti pertumbuhannya
3.    Terjadinya proses fermentasi dan pembusukan yang menyebabkan panas, air dan CO2 dan gas-gas hasil reaksi enzimatis lainnya seperti CH4, NH4 dan lain-lain.
4.    Kondisi proses pengeringan yang lama dengan kadar air dan suhu tinggi yang merangsang proses enzimatis lebih aktif.
5.    Degradasi bahan rumput laut terjadi sangat lama dan tidak disadari dianggap suatu hal yang biasa dan tidak berpengaruh apa-apa.
Akibatnya adalah :
1.    Terjadinya penyusutan karena proses fermentasi bahan rumput laut selama proses pengeringan yang sangat lama.  Bahan yang terdapat di dalam rumput laut terfermentasi menjadi bahan bentuk lain dan bentuk konversi lainnya berupa energi panas, CO2 (atau bentuk gas lainnya) dan air.
2.    Terjadinya material terfermentasi (fermented material atau disingkat FerMat) yang terikut pada bentuk RLK.
3.    Fermat  yang terkandung dalam RLK terbut akan tercuci dan terbuang dari proses pembuatan Chips ATC dan hingga keraginan.
Untuk jelasnya bisa dibandingkan 2 diagram berikut ini.  Sebelah kiri adalah proses konvensional yang selama ini dilakukan, dan diagram sebelah kanan adalah konsep ideal yang memberi hasil maksimal.
 


Setiap tahun Indonesia memproduksi hampir 5 juta ton rumput laut basah (RLB).  Pada tahun 2014 nanti diharapkan Indonesia mampu meningkatkan produksi dari budidaya rumput laut hingga 10 juta ton.  Selama ini sebagian besar hasil (85 %) yang dijual ke luar negeri adalah hanya berupa bahan mentah berupa rumput laut kering (dried cottonii) disingkat RLK.  Hanya sekitar 15 % yang diolah lebih lanjut menjadi Chips ATC, Semi Refined Carrageenan (SRC) dan Refined Carrageenan (RC).  Jika keadaan ini tidak berubah, maka proyeksi 2014 dan seterusnya nanti ada produksi 10 juta ton RLB atau dikeringkan menjadi 1 juta ton RLK.  Sebanyak 850 ribu ton yang diekspor dan hanya 150 ribu ton yang diolah menjadi  produk hilir tadi. 
Dari 10 juta ton rumput laut basah yang dipanen oleh seluruh petani rumput laut se Indonesia ini, seandainya dikelola seluruhnya dengan sistem yang ideal maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.    Dalam bentuk 10 juta ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 trilyun
2.    Menjadi 1,2 juta ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 14,4 trilyun
3.    Atau 679.200 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 40,752 trilyun
4.    Atau 459.000 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 73,536 trilyun
Namun, seandainya dari 10 juta ton rumput laut basah yang dipanen oleh seluruh petani rumput laut se Indonesia ini dikelola seluruhnya dengan sistem konvensional seperti selama ini, maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.    Dalam bentuk 10 juta ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 trilyun (sama)
2.    Menjadi 1 juta ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 12 trilyun (selisih 0,2 juta ton RLK dengan nilai Rp 2,4 trilyun)
3.    Atau 315.000 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 18,9 trilyun (selisih 364.200 ton ATC Chips atau senilai Rp 21,852 trilyun)
4.    Atau 236.000 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 37,76 trilyun (selisih 223.600 ton RC atau senilai Rp 36,296 trilyun).
Selengkapnya bisa dilihat pada data tabel perbandingan berikut ini :


 
Kalau untuk skala Kabupaten Nunukan yang sekarang ini data hasil produksi adalah sekitar 1000 ton RLK atau beasal dari 10.000 ton RLB per bulan.   Maka jika disusun perbandingan seperti tabel di atas adalah sebagai berikut :
Maka jika dihitung dari 10.000 ton rumput laut basah yang dipanen setiap bulan oleh seluruh petani rumput laut se Kabupaten Nunukan ini, jika dikelola seluruhnya dengan sistem yang ideal maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.    Dalam bentuk 10.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 milyar
2.    Menjadi 1.200 ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 14,4 milyar
3.    Atau 679,2 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 40,752 milyar
4.    Atau 459 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 73,536 milyar
Namun, seandainya dari 10.000 ton rumput laut basah setiap bulan yang dipanen oleh seluruh petani rumput laut se Kabupaten Nunukan ini dikelola seluruhnya dengan sistem konvensional seperti selama ini, maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.    Dalam bentuk 10.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 milyar (sama)
2.    Menjadi 1.000 ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 12 milyar (selisih 200 ton RLK dengan nilai Rp 2,4 milyar)
3.    Atau 315 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 18,9 milyar (selisih 364,2 ton ATC Chips atau senilai Rp 21,852 milyar)
4.    Atau 236 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 37,76 milyar (selisih 223,6 ton RC atau senilai Rp 36,296 milyar).
Maka jika dihitung dalam setahun atau selama 12 bulan, maka selisih nilai proyeksi antara sistem ideal dan konvensional selama ini adalah :
1.    Dalam bentuk 120.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 126 milyar per tahun.
2.    Menjadi 12.000 ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 144 milyar (selisih 2400 ton RLK dengan nilai Rp 28,8 milyar)
3.    Atau 3.780 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 226,8 milyar (selisih 4.370 ton ATC Chips atau senilai Rp 262,224 milyar)
4.    Atau 2.832 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 453,12 milyar (selisih 2.683 ton RC atau senilai Rp 429,312 milyar).
Atau selengkapnya seperti tersaji dalam tabel berikut ini.
Dari hitungan proyeksi seperti di atas bisa dibayangkan besarnya nilai yang terbuang sia-sia karena kesalahan paradigma dalam iklim bisnis rumput laut selama ini.  Sungguh besar nilai tambahnya jika kita melakukan sistem bisnis rumput laut dengan paradigma  dengan dasar keilmuan yang benar.  Ada tanda kesyukuran atas ni’mat Tuhan yang telah dilimpahkan berupa produk rumput laut di negeri ini.  Alam laut yang sedemikian bersahabat ini rupanya telah menyediakan menghamparkan ni’mat yang lebih besar seandainya kita bisa mensyukurinya dengan memperlakukan rumput laut ini dengan perlakuan pengolahan dan penyimpanan yang benar.  Dan ilmu itu sudah pernah diberikan Tuhan melalui hamba-hambanya yang berilmu pengetahuan tentang pengelolaan bahan pangan.
Fabiayi ‘alai Robbikuma tukadziban....
Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan !??  
 
 
 
 
 

Kunjungan Ke Pabrik Pembuatan Karagenan Di Pasuruan Jawa Timur

 
KUNJUNGAN BELAJAR KE PABRIK PENGOLAHAN KARAGENAN RUMPUT LAUT DI PASURUAN JAWA TIMUR
 Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto
Saya sempat pesimis bisa masuk ke dalam pabrik yang mengolah rumput laut menjadi karagenan.  Namun hal itu tidak terbukti pada saat kami mengunjungi Pabrik Kappa Karagenan di Desa Kurung Kecamatan Kejayan Kabupaten Pasuruan.  Pak Hamzah, sang pemilik pabrik,  sungguh sangat membuka diri dan membuka pabrik seterang-terangnya dan menjawab semua pertanyaan yang disampaikan oleh para tamu.  Tidak ada hal-hal yang disembunyikan dari detil-detil pabrik yang dimilikinya.  Ini aneh bin ajaib.  Sebab selama ini beberapa teman yang berusaha masuk ke beberapa pabrik hanya diterima di ruang tunggu atau bahkan hanya di pos satpam pabrik.
Pabrik ini terkesan agak tersembunyi, karena untuk memasuki pabrik rombongan dari Kabupaten Nunukan yang dipimpin langsung oleh Bupati Nunukan, yaitu Bapak Letkol Purnawirawan Drs. H. Basri.  Dengan menggunakan Bus Mini dari Surabaya harus melalui jalan kampung yang tidak beraspal dan melalui kebun-kebun masyarakat.  Meski tidak terlalu jauh jaraknya dengan Jalan Raya Kejayan yang menghubungkan Kota Pasuruan dan Kota Kecamatan Porwosari, hanya sekitar 500-an meter.  Sebenarnya lokasi pabrik Pak Hamzah ini tepat di Belakang Pabrik milik Mayora Grup yang berdampingan dengan persawahan yang relatif subur dengan pengairan yang baik.
Meskipun agak tersembunyi, ternyata Pabrik Pak Hamzah ini demikian terbuka, karena tidak ada pagarnya.  Pintu pabrik juga dibuka lebar-lebar dan penulis tidak mendapati Satpam yang berseragam yang berjaga di pos jaga, karena memang tidak ada pos jaganya.   Masuk ke area pabrik kami disuguhi pemandangan berupa hamparan seperti tumpukan kain putih yang sedang dijemur di atas terpal.  Ada juga yang sedang dijemur menggunakan rak-rak penjemur yang beroda. Rupanya yang dijemur itu adalah lembaran-lembaran karagenan yang baru dipress berbentuk seperti kain putih yang sedang dijemur.  Penjemuran dilakukan karena panas matahari sedang cerah hingga energinya bisa mengeringkan lembar-lembar karagenan itu.


Gedung Pabrik Pak Hamzah ini lebarnya sekitar 20-an meter sedang panjangnya mungkin sekitar 60-an meter.  Kesan pertama memasuki pabrik ini adalah kesederhanaanya.  Pabrik ini benar-benar menyatu dan akrab dengan lingkungan sekitarnya.  Ada kebun-kebun Mangga, kebun Jati dan Sawah masyarakat di sisi barat dan belakang pabrik.  Bahkan sawah yang berada di belakang pabrik tersebut merupakan bagian yang dimiliki Pak Hamzah untuk memanfaatkan limbah cair pabrik untuk pupuk penyubur tanaman padi.   Sungguh pabrik ini sangat aman bagi lingkungan persawahan yang ada di sekitarnya, bahkan bisa memberikan pupuk tambahan dari limbah cair maupun padat dari aktifitas produksinya. 
Begitu masuk ke dalam gedung Pabrik kami bertemu dengan alat pengering yang lama sudah saya pandangi melalui gambar-gambar di internet jika kita cari dengan kata kunci “seaweed dryer”.  Industri rumput laut di China sudah sangat akrab dengan alat ini.  Maka banyak sekali penawaran alat mesin ini di China.  Menurut Pak Hamzah di China terdapat sekitar 600 pabrik pengolahan rumput laut menjadi karagenan.  Di China sendiri rumput laut hanya bisa dibudidaya sekitar 3 bulan saja atau satu musim saja.  Karena dari 4 musim sub tropik disana, 1 musim panas saja yang bisa dibudidayakan rumput laut.  Makanya China sangat bergantung pada pasokan bahan baku rumput laut dari luar, termasuk yang paling besar adalah dari Indonesia.
Sekarang ini sebenarnya Indonesia sudah menjadi produsen terbesar rumput laut di dunia, setelah sekitar tahun 2008 mengalahkan dominansinya Filippina.  Namun dalam hal devisa yang dihasilkan Filippina memperoleh nilai ekspor lebih besar dibanding Indonesia.  Itu karena Indonesia mengekspor rumput laut sebagian besar (sekitar 85%) dalam bentuk raw material , sebaliknya Filippina sudah lebih banyak (sekitar 85%) mengekspornya dalam bentuk olahan jadi atau setengah jadi.   Rumput laut kering (dried seaweed) yang diproduksi Indonesia sebagian besar diekspor ke China, dan sebagian kecil ke Filippina, Malaysia dan beberapa negara eropa.
Pabrik pengolahan rumput laut yang ada di Indonesia bisa dihitung dengan jari.  Sebagian besar adalah mengolah rumput laut menjadi bahan setengah jadi berupa Chip ATC  dan Semi Refine Carrageenan (SRC).  Hanya sedikit Pabrik yang mengolah rumput laut menjadi Refine Carrageenan ini.  Dan Pabrik Pak Hamzah bisa dikatakan sebagai pabrik pertama milik anak Indonesia yang mengolah rumput laut menjadi tepung RC.  Beberapa pabrik yang mengolah rumput laut menjadi RC sebagian besar dimiliki oleh pemodal asing atau korporasi raksasa nasional.
Ditanya tentang sedikitnya pemain RC, Pak Hamzah bercerita demikian panjang.  Dominansi industri China sangat menguasai perdagangan rumput laut Indonesia.  Bahkan Indonesia dikesankan tidak akan mampu membuat pabrik pengolahan RC.  Seandainya mampu mungkin pasarnya juga tidak akan mampu menembus kartel China yang sudah sangat mendominasi bisnis rumput laut dan karagenan dunia.   Sehingga dari awal Pak Hamzah juga sudah memperhitungkan itu.  Kuatnya kartel rumput laut China ini, ternyata sangat mempengaruhi 2 pusat bisnis rumput laut yang ada di Indonesia Timur, yaitu Surabaya dan Makassar.  
Seluruh produksi rumput laut Indonesia sebagian besar diproduksi di bagian timur Indonesia seperti :
1.    Pulau Kalimantan di Provinsi Kaltara (Nunukan, Tarakan),  Provinsi Kalimantan Timur (Bontang, Kutim, Balikpapan dan Pasir Panajam Utara)
2.    Maluku Tenggara, Maluku Utara
3.    Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah
4.    Sulawesi Selatan dan Sulawei Tenggara
5.    NTT, NTB dan Bali.
6.    Dll.
Memulai pabrik dengan kapasitas kecil
Kunjungan belajar ke pabrik  PT Kappa Carrageenan Nusantara milik Pak Hamzah ini menyertakan juga Rombongan dari PT Manrapi dari Nunukan untuk menjajagi model pabrik serupa jika dibangun di Nunukan.  Rombongan PT Manrapi yang dipimpin oleh H. Irwan Sabri SE, juga menyertakan Kepala Dinas Perindagkop dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan beserta Kepala Bidang Perijinan dan Pengolahan Hasil Perikanan Kabupaten Nunukan.   PT Manrapi milik H. Sabri, seorang pengusaha tambang Batubara ini, bertekad untuk membangun industri pengolahan rumput laut di Nunukan.
Karena PT Manrapi juga secepatnya akan memulai pembangunan pabrik pengolahan rumput serupa di Nunukan.  Pembangunan pabrik dimaksud akan memanfaatkan melimpahnya bahan baku yang selama ini hanya dijual dalam bentuk mentah ke Makassar, Surabaya dan Tawau Malaysia.  Sangat disayangkan.  Dengan dibangunnya pabrik pengolahan rumput laut di Nunukan akan menciptakan nilai tambah dan juga menyerap tenaga kerja di Nunukan.  Selain itu tentu hal ini juga bisa lebih menstabilkan harga di tingkat petani dan juga mampu meningkatkan daya saing produk ke luar daerah.  Kalau pembangunan ini sukses maka kepercayaan diri para pengusaha lokal untuk berinvestasi di negerinya sendiri juga akan semakin besar.
Selama ini Bupati Nunukan, Bapak Drs. H Basri, juga menghendaki agar rumput laut yang dibawa keluar dari Nunukan tidak lagi dikirim dalam bentuk gelondongan alias mentah. Tapi dikirim keluar daerah bahkan keluar negeri sudah dalam bentuk setengah jadi yaitu berupa Chip ATC dan Semi Rfine Carrageenan atau bahkan sudah dalam bentuk Refine Carrageenan.   Seandainya bisa maka sangat mungkin juga sudah bisa diolah menjadi aneka produk pangan olahan yang berbahan dasar rumput laut.  Tentu ini akan menghidupkan roda ekonomi rakyat dan menyediakan kesempatan kerja bagi warga Nunukan, sebagaimana visi yang sudah dipatrikan dalam program Gerbang Emas.
Bupati menghendaki kalau bisa semua produksi rumput laut se Kabupaten Nunukan ini bisa dihilirisasi menjadi komoditi yang bernilai tambah.  Maka semula jika pabrik pengolahan rumput laut di Nunukan ini berkembang akan mampu mengolah seluruh produksi yang ada, yaitu sebanyak 1.000 ton per bulan.  Namun Pak Hamzah mengingatkan agar membangun pabrik pengolahan dimulai dari skala ekonomis minimal dulu seperti pabrik yang dimilikinya.  Bila mengikuti jejak Pak Hamzah, maka biarlah pabrik di Nunukan nanti dimulai dengan kapasitas olah 5 ton rumput laut kering per hari, atau sebanyak 150 ton per bulan.  Maka jika diolah menjadi tepung karagenan akan dihasilkan antara 30-40 ton tepung karagenan per bulan.
Jika pabrik dibangun dalam kapasitas besar dan menyedot seluruh bahan baku di Nunukan, maka bisa menyebabkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
1.  Berkurangnya jatah pengiriman oleh pedagang lokal ke Makassar dan Surabaya.
2.  Akan merubah sedikit atau banyak keseimbangan harga rumput laut di tingkat eksportir yang akan berimbas juga kepada pabrik di luar Nunukan.
3.  Memancing reaksi pedagang besar yang berhubungan dengan pabrik dan importir di China (Kartel China) yang membuat harga di tingkat petani tidak stabil.
4.  Mematikan peran pedagang pengumpul, peluncur di lapangan dan para pengusaha angkutan dan tenaga kerja yang biasanya bekerja pada rantai tata niaga ini.
5.  Harga di tingkat petani di Nunukan akan lebih stabil dan kualitas hasil rumput laut lebih terkontrol.
6.  Ada penyerapan tenaga kerja cukup besar yang diperlukan untuk operasionalisasi pabrik dan tenaga di dalam tata niaga baru yang lebih pendek dari petani ke pabrik.
7.  Merubah pola tata niaga dan sistem yang menyesuaikan dengan permintaan atau persyaratan mutu menurut standar pabrik.
8.  Pabrik berkembang pengaruhnya menjadi trigger, driver, leader dalam sistem bisnis rumput laut di Nunukan.
9.  Untuk mengontrol kemungkinan terjadinya poin 8 di atas, maka peran pemerintah dalam menjalankan sistem pengawasan yang standar dapat menyusun peraturan perundangan dengan pihak Legislatif.
10.  Jika dukungan bahan baku, bahan penolong, bahan bakar, listrik, air, sistem pengelolaan SDM (tenaga kerja) atau jika manajemen Pabrik lemah, maka akan mengalami kewalahan dalam mengelola input yang dibutuhkan maupun output yang dihasilkan.
11.  Imbas dari lemahnya sistem manajemen pabrik akan berdampak besar pada tata niaga yang sudah terlanjur monopolistik (nanti).  Namun mungkin (nanti) akan menyebabkan gejolak sementara saja sebab bagaimanapun reaksi pasar yang besar akan menyerapnya.
12.  Dan lain-lainnya.
Oleh karena itu perlu diciptakan keseimbangan yang mensinergikan beberapa kepentingan dalam sistem bisnis rumput laut ini.  Perubahan sistem dengan munculnya pabrik berskala besar jangan menyebabkan goncangan di tingkat petani, khususnya dalam hal harga dan pengelolaan mutu rumput laut.   Namun yang sering terjadi adalah sebaliknya, pabriklah yang biasanya terguncang karena harga beli rumput laut di tingkat petani itu naiknya ekstrim.  Pada kondisi begini pabrik agak mengerem pembelian bahan baku dan memanfaatkan stok bahan baku yang masih ada di gudang.  Oleh karena itu pabrik yang memiliki modal besar biasanya akan melakukan aksi borong jika harga rumput laut sedang turun.
 
 
 
 

News

 

© 2013 Rumput Laut Indonesia. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top